Kami punya Cita-cita

By Claudia Tasya - December 17, 2012

Wanita berparas ayu itu melangkahkan kakinya menyusuri sudut-sudut kota tempat kelahirannya, Semarang.

Dia tak pernah lelah meski harus berjalan sangat jauh, Ia sangat menikmati hal itu. Melihat pemandangan sudut kota yang sudah menjadi kebiasaannya.

Namun kali ini, tiba-tiba ada sebersit pikiran terlintas dikepalanya ketika melihat anak-anak itu. 

Ya, anak-anak berpenampilan tak seperti orang pada umumnya. Tiap-tiap mereka berjalan menuju kendaraan ke kendaraan lainnya dengan sebuah alat musik di tangan mereka. Bukan, bukan itu alat musik yang mereka mainkan, hanya alat musik sederhana. Hanya berbahan sebuah kayu, paku dan beberapa tutup botol yang biasa kita minum. Tak perlu bakat agar dapat memainkan alat musik itu. Usia mereka kira-kira 6-7 tahun, ada perempuan juga ada yang laki-laki.

Wanita itu mulai berpikir, tak adilkah dunia ini? Dunia memilih anak-anak kecil yang tak 'berdosa' itu untuk berjuang di kerasnya dunia ini? di kelamnya dunia ini? di kepura-puraan dunia selama ini?

Wanita itu juga tak dapat menahan emosi yang meluap-luap dari dirinya ketika teringat peraturan pemerintah yang tak memperbolehkan memberi mereka 'uang'.

Seharusnya bukan itu yang harus dikeluarkan, bukan banyak peraturan yang harus dikeluarkan. Namun, TINDAKAN. Apa susahnya? Tertutupkah mata para pejabat itu? Anak-anak berpakaian lusuh, berjuang ditengah panas terik? Apa itu belum cukup mengetuk hati mereka?

Setidaknya, beri mereka fasilitas,beri mereka pendidikan "gratis" itu. Beri mereka apapun yang bisa membuat mereka lebih baik. Bukan peraturan!

Wanita itu menghela nafas panjang, Ia mulai melangkahkan kakinya menuju kumpulan anak-anak itu.

"Hai dek" sapanya semangat. Tatapan anak-anak itu yang tadinya enggan bertemu orang asing perlahan mulai hilang ketika merasa nyaman dengan wanita itu.

"Gimana? Dapet banyak?" tanya sang wanita penuh dengan semangat.

"Yah lumayang kak" jawab salah satu anak kecil perempuan yang berambut lurus agak kecoklatan itu.

"Emang kalian gak sekolah?" tanya wanita itu lagi dengan rasa ingin tahu yang sama besarnya.

"Orang tua kami gak sanggup kak" jawab lagi salah satu anak lelaki yang mungkin paling tua disini dengan kepala tertunduk.

Hati wanita itu seolah teriris, matanya terasa panas.

"Tapi kami sudah terbiasa dengan hidup seperti ini" sambung anak tadi.

"Kami sudah biasa tidak dianggap, kami sudah biasa direndahkan" lagi anak itu mengungkapkan.

"Aku mau sekolah " salah satu anak kecil yang tepat berada disampingku.

"Aku juga" aku menoleh menlihat anak yang lain mulai mengatakan hal yang sama.

"Kami tidak mau seperti ini terus kak, tapi kami tidak punya pilihan" anak lelaki tadi mulai berbicara lagi.

"Kami semua disini berkorban demi kebahagiaan keluarga kami masing-masing, berkorban demi adik-adik kami" wanita itu mulai merasa anak-anak disini sudah sangat tertekan. 

"Yang terpenting, kami punya cita-cita"  anak itu berkata dengan menegakkan kepalanya. Menandakan tekad yang bulat, tak ada keputusasaan.

"Aku mau jadi guru" celetuk salah satu anak perempuan berambut lurus.

"Aku mau jadi pilot" kata anak laki-laki itu mantap.

"Aku mau jadi dokter" kata anak disampingku.

Sementara yang lain mulai mengatakan cita-cita yang mereka impikan. Cita-cita yang bagaikan mentari dimendungnya hidup mereka. Cita-cita yang mereka harap akan menjadi kenyataan, cita-cita yang akan merubah jalan hidup mereka menjadi lebih baik.

Lagi wanita itu terenyuh oleh ironisnya kehidupan. Beberapa orang yang menganggap kehidupan bukanlah hal yang penting adalah orang yang punya 'segalanya', perlahan mereka hanya membuang apa yang mereka miliki. Sementara banyak orang menginginkan kehidupan enak seperti mereka, Ironis memang. Namun inilah kehidupan.Jalani apa yang sudah ada dihadapanmu, hadapi jika harus dihadapi. Pertahankan jika harus dipertahankan. Dan buang apa yang harus dibuang.


Dunia memilih orang yang salah jika orang itu adalah anak-anak kecil yang tak berdosa.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments